Untuk Kamu.

Mereka bilang, manusia itu selalu membandingkan. Terutama wanita, makhluk ciptaan Tuhan yang tingkat insecure-nya sangat tinggi.
Tak terkecuali aku. 

Kalau wanita lain suka ke salon setiap minggunya, aku ke salon mungkin hanya dua kali dalam setahun.
Kalau wanita lain merindukan mall dan pusat perbelanjaan setiap merasa tertekan, aku merindukan teriknya matahari, aroma laut, dan menari bersama makhluk laut di dalam dinginnya laut.
Kalau wanita lain pandai memoleskan make up di wajahnya, aku membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk memoleskan eye liner dengan sempurna (dan bahkan masih berantakan).
Kalau wanita lain senang mengunjungi bar dan club di akhir pekan, aku lebih suka tidur-tiduran di depan TV sambil mengobrol santai dengan keluarga dan teman-teman dekat.
Kalau wanita lain pintar mengambil foto selfie (diri sendiri) dan hasilnya cantik (entah hasil editan atau tidak), hasil foto selfie-ku selalu amburadul, tidak ada cantik-cantiknya.
Kalau wanita lain rela mengeluarkan uang ratusan ribu bahkan jutaan rupiah untuk memasang hair extension agar rambutnya terlihat panjang, aku lebih mempercayakan kerjanya tangan Tuhan agar rambut ini bisa panjang alami dan indah.
Kalau wanita lain memiliki kulit yang mulus, tak bernoda, dan putih.. Kulitku terlihat gosong dimana-mana dengan warna yang tidak rata, goresan luka akibat olahraga laut yang masih berbekas, bekas alergi, dan tidak terawat.
Kalau wanita lain rela menghabiskan ratusan ribu rupiah setiap bulannya untuk membeli perlengkapan make up, aku rela menghabiskan ratusan ribu bahkan jutaan rupiah untuk membeli buku dan menabung untuk trip selanjutnya.
Kalau wanita lain bisa berpura-pura bodoh dan tidak tahu akan sesuatu hal, aku adalah orang yang tidak mau kalah dengan orang lain. Aku tidak mau terlihat bodoh di depan siapapun, karena itu aku selalu belajar dan belajar.. Aku senang terlihat pintar.
Kalau wanita lain mampu mengekspresikan kemanjaan dan kemanisan dirinya di hadapan pasangannya, aku termasuk orang yang pemalu. Aku bahkan terlihat datar jika kamu ajak berbicara serius. Ekspresiku tidak bisa seperti wanita lain pada normalnya.

Aku tidak manis, dan tidak bisa jadi wanita yang manis.
Aku kaku.
Aku tidak terbiasa dirawat. Aku lebih suka merawat orang lain.
Aku tidak terbiasa mengekspresikan diri dengan manis. Aku lebih suka diam-diam memperhatikan dan memberikan.
Aku tidak bisa menjadi manja. Aku dituntut untuk menjadi orang yang mandiri.
Aku tidak suka keramaian. Aku lebih suka kesunyian atau bersama orang-orang yang aku kasihi.

Jadi, sudah yakinkah dirimu untuk bisa mengayomi diriku yang sebegitu ngeyelnya? Sudah siapkah dirimu menerima untuk diriku yang tidak manis ini? 

Jika kamu mampu mengatakan "Iya" dengan keyakinan yang mantap, aku rasa aku akan mulai mempercayakan semuanya kepadamu lagi.

Traveling Bersama Tuhan.

Ketika saya memutuskan untuk lebih banyak lagi menjelajahi bumi ini, itu bukan semata-mata saya merasa harus memenuhi rasa haus saya akan berjelajah. Di masa sekarang ini, banyak yang memandang traveling adalah salah satu bentuk kegiatan untuk memuaskan dahaga akan banyaknya tempat-tempat indah di bumi ini. Terutama dengan menjamurnya akses ke dunia media sosial dan internet, orang-orang dapat dengan mudahnya mengakses informasi mengenai tempat-tempat berlibur. Didukung pula dengan adanya komunitas para traveler, harga tiket yang sering promo, pihak penyelenggara tour ataupun open trip yang semakin kreatif dalam memasarkan produk dan jasa mereka, maka semakin lengkaplah mimpi para traveler di Indonesia.

Namun bagi saya, traveling itu memiliki esensial tersendiri.
Traveling bukan sekedar mengunjungi tempat-tempat eksotis dan "pengasingan" bagi jiwa yang membutuhkannya.
Traveling bukan sekedar "mengoleksi" check point sebanyak-banyaknya dan siapa-yang-telah-mengunjungi-berapa-kota-negara-pulau-dialah-pemenangnya.
Traveling bukan sekedar bertemu teman-teman baru di perjalanan.
Traveling bukan sekedar ajang menghitamkan kulit dan bersenang-senang di dalam magisnya keindahan laut.
Traveling bukan sekedar mengejar titik gunung tertinggi dan berdiri di puncaknya.
Dan traveling juga bukan sekedar mengagumi keindahan dan kemegahan ciptaan-Nya yang tidak ada tandingannya.

Sungguh, traveling bukan sekedar memori dan pengalaman di atas. 

Bagi saya, traveling adalah menemukan kepingan diri dan Tuhan di setiap lekuk tempat asing yang saya kunjungi.
Traveling adalah bagaimana diri ini mampu memeluk alam dan alam kembali memelukmu atas kuasa-Nya.
Traveling adalah tentang bagaimana diri ini belajar bahwa manusia adalah makhluk hidup paling hebat sekaligus menyeramkan yang pernah diciptakan oleh Tuhan.
Traveling adalah tentang bagaimana diri ini mampu menemukan saudara-saudara di setiap manusia baru yang saya temui.
Traveling adalah tentang seberapa jauh diri ini bisa keluar dari zona nyaman yang mengkungkung dan membosankan. Betapa hebatnya diri ini mampu bertahan di tempat dingin yang kau pikir kau tidak akan mampu, betapa hebatnya paru-paru ini mampu menyelam ke dalam laut, betapa hebatnya tubuhmu jika kau mampu mengendalikan otakmu. 
Traveling adalah proses belajar. Belajar tentang betapa kecilnya kita di dunia ini. Belajar mengenali diri sendiri. Belajar sejauh apa kau mengenal dirimu.
Traveling adalah proses menemukan dan mengenal Tuhan. Dan ketika Tuhan memelukmu kembali, rasanya tidak ada tandingannya.

Karena itu semua, saya sangat menyukai kegiatan duduk-duduk "bengong" dan "leyeh-leyeh" sendirian di tempat-tempat baru. Entah itu di pinggir pantai, di atas gunung, di dermaga, di taman, atau di mana pun. 
Saya senang dengan "me time" saya tersebut. Mungkin jika orang lain melihat, diri saya terlihat depresi dengan duduk di ujung puncak gunung atau pun dermaga pantai sendirian dan memandang nanar kejauhan.

Tapi otak saya tidak pernah kosong. Saya sedang berusaha "berbicara" dengan Tuhan saat itu.

Pada akhirnya, kita semua memiliki cara tersendiri untuk menemukan Tuhan.
Terimakasih, Tuhan... Atas kaki, paru-paru, mata, dan semua kondisi fisik di tubuh ini yang masih prima untuk menikmati keindahan diri-Mu. :)


-Ebby, the wanderer